3  UTS-3: Kisah Jatuh di Garis Start (dan Menolak untuk Tetap di Bawah)

Di halaman utama portofolio ini, saya membagikan kutipan favorit saya dari Mary Pickford:

“This thing that we call failure is not the falling down, but the staying down.”

Kutipan itu bukan sekadar teori atau kata-kata indah yang saya temukan di internet. Bagi saya, itu adalah pengalaman pribadi. Ini adalah cerita tentang kegagalan terbesar saya.

3.0.1 Bagian 1: Harapan dan Beban

Saya ingat dengan jelas perasaan saya menjelang Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Ini bukan sekadar ujian masuk universitas biasa. Bagi saya, ini adalah momen pembuktian.

Orang tua saya telah berkorban begitu besar. Mereka menyekolahkan saya jauh-jauh ke Palembang, ke salah satu SMA terbaik di provinsi Sumatera Selatan. Mereka membiayai kursus tambahan, memberikan semua yang saya butuhkan, dan mendukung penuh pembelajaran saya. Saya membawa harapan dan investasi mereka di pundak saya. Lulus UTBK di pilihan pertama atau kedua adalah satu-satunya skenario yang ada di kepala saya.

3.0.2 Bagian 2: Layar Merah Kegagalan

Lalu, hari pengumuman itu tiba.

Saya membuka website pengumuman. Jantung saya berdebar kencang. Saya memasukkan nomor peserta saya, menekan ‘Enter’, dan menahan napas.

Yang muncul adalah warna merah. Tulisan “Anda dinyatakan TIDAK LULUS…”

Saya tidak lulus. Pilihan satu dan pilihan dua, keduanya menolak saya.

Dunia saya seakan berhenti berputar. Perasaan pertama yang muncul bukanlah kesedihan, tapi malu. Saya merasa telah gagal total sebagai seorang anak. Saya telah mengecewakan orang-orang yang paling saya cintai; mereka yang telah memberikan segalanya untuk saya.

Saya duduk terdiam untuk waktu yang lama. Hal tersulit bukanlah melihat layar merah itu, tapi memikirkan bagaimana cara mengabari orang tua saya. Saya tidak berani. Saya malu membayangkan nada kecewa dalam suara mereka.

3.0.3 Bagian 3: Titik Balik (Kekuatan dari “Cinta”)

Ketika saya akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menelepon ke rumah, saya sudah bersiap untuk dimarahi, atau setidaknya, mendengar kekecewaan yang mendalam.

Apa yang saya terima justru sebaliknya.

Orang tua saya sangat suportif. Tentu, mereka kaget, tapi tidak ada amarah. Kalimat pertama yang mereka ucapkan adalah, “Tidak apa-apa. Ini bukan akhir.” Mereka tidak melihat saya sebagai kegagalan. Mereka melihat saya sebagai anak mereka yang sedang “jatuh”.

Dukungan tanpa syarat itulah yang menjadi titik balik saya. Di situlah saya memutuskan untuk tidak “tetap di bawah”.

3.0.4 Bagian 4: Maraton 6 Ujian

Saya tidak membiarkan kesedihan berlarut-larut. Kegagalan UTBK adalah fakta, tapi itu bukan takdir.

Orang tua saya mendorong saya untuk mencari jalan lain. Akhirnya, saya mendaftar dan mempersiapkan diri untuk enam ujian mandiri di berbagai kampus. Bulan berikutnya adalah maraton belajar yang sesungguhnya. Saya percaya Tuhan memberi saya jalan yang penuh tantangan ini karena saya bisa melewatinya. Saya kembali belajar dengan giat, kali ini didorong bukan oleh rasa takut gagal, tapi oleh keinginan untuk membuktikan bahwa dukungan orang tua saya tidak sia-sia.

Satu per satu, pengumuman ujian mandiri mulai keluar.

3.0.5 Bagian 5: Resolusi dan Pelajaran

Hasilnya: Saya lulus di 5 dari 6 kampus yang saya daftarkan.

Dan ironisnya, salah satu kampus yang menerima saya melalui jalur mandiri adalah universitas yang sama yang menolak saya mentah-mentah di UTBK. Saya berhasil mendapatkannya kembali, bukan karena keberuntungan, tapi karena saya tidak menyerah untuk mencoba lagi.

Pelajaran terbesar yang saya dapatkan adalah validasi mutlak dari kutipan itu.

Gagal UTBK adalah momen ‘jatuh’ (falling down). Itu menyakitkan, memalukan, dan brutal. Tapi itu hanya sebuah peristiwa.

Memutuskan untuk berhenti mencoba, menyalahkan takdir, dan menyerah pada rasa malu—itulah yang disebut ‘tetap di bawah’ (staying down). Dan saya memilih untuk tidak melakukannya.